Ketegangan mewarnai dunia advokat Indonesia setelah Firdaus Oiwobo, figur yang kerap menjadi sorotan di ranah hukum nasional, resmi menantang Undang-Undang Advokat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah ini memicu diskusi luas karena berhubungan langsung dengan polemik internal organisasi advokat yang selama ini dinilai “tidak pernah benar-benar selesai”.
Permohonan uji materi yang dipimpin Deolipa Yumara sebagai ketua tim kuasa hukum didaftarkan pada Selasa (11/11/2025). Menurut mereka, keputusan Pengadilan Tinggi Banten yang membekukan berita acara sumpah Firdaus adalah tindakan yang “tidak pernah memiliki landasan prosedural yang jelas”.
“Pembekuan dilakukan tanpa sidang kode etik. Dalam UU Advokat, itu prosedur wajib. Ini bukan sekadar kelalaian, ini pelanggaran formil,” tegas Deolipa dalam konferensi pers.
Firdaus Mengaku ‘Terhukum Tanpa Proses’
Firdaus sendiri tidak menutupi kemarahannya. Ia menilai apa yang dialaminya justru membuka borok tata kelola advokat di Indonesia.
“Saya tidak pernah disidang, tidak pernah diberi kesempatan pembelaan diri. Saya langsung dibekukan begitu saja. Ini praktik yang tidak dikenal dalam UU Advokat,” ujarnya.
Firdaus menyebut tindakan itu bertentangan dengan sejumlah pasal dalam UU Advokat dan UUD 1945 yang menjamin kepastian hukum dan keadilan. Ia menyebut istilah “pembekuan berita acara sumpah” sebagai istilah yang “tidak pernah eksis secara normatif”.
Polemik Organisasi Advokat Mencuat Lagi
Kasus ini ikut menyeret nama Kongres Advokat Indonesia (KAI) versi kepemimpinan Siti Jamilah Lubis. Menurut Firdaus, rekomendasi pembekuan berasal dari pihak tersebut. Namun ia mempertanyakan legalitasnya, dengan menyebut bahwa susunan kepengurusan tersebut belum terdaftar di Ditjen AHU Kemenkumham.
“Bagaimana organisasi yang belum sah secara administratif bisa mengeluarkan rekomendasi yang berdampak hukum pada profesi advokat?” tanya Firdaus.
Deolipa menambahkan, jika hal itu benar terjadi, maka sistem pembinaan profesi advokat harus dievaluasi besar-besaran.
Dugaan Intervensi Mahkamah Agung Jadi Sorotan
Pernyataan paling panas datang ketika Firdaus dan timnya menyinggung dugaan adanya intervensi dari Ketua Mahkamah Agung (MA). Mereka menilai, jika benar ada arahan informal yang mempengaruhi putusan Pengadilan Tinggi, itu adalah sinyal bahaya bagi dunia peradilan.
“Ini persoalan marwah peradilan. Ketua MA tidak boleh masuk ke ranah putusan pengadilan tinggi tanpa dasar hukum,” kata Deolipa.
Kerugian Finansial Menggunung
Firdaus juga membuka kerugian yang ia klaim alami: delapan bulan tidak dapat berpraktik, kehilangan klien dan kontrak bernilai ratusan juta rupiah per bulan. Menurutnya, hal itu menunjukkan bahwa pembekuan tersebut bukan sekadar formalitas administratif, tetapi memiliki dampak ekonomi yang nyata.
Demi Reformasi Profesi, Didorong Dewan Kode Etik Nasional
Dari kasus ini, tim kuasa hukum Firdaus menyebut perlunya reformasi besar-besaran melalui revisi UU Advokat. Salah satu ide yang mereka angkat adalah pembentukan Dewan Kode Etik Nasional — sebuah badan tunggal yang mengawasi etika advokat tanpa terpengaruh politik internal organisasi.
“Dengan banyaknya organisasi, pelanggar kode etik bisa ‘berpindah rumah’. Itu masalah besar. Sanksi harus berlaku universal,” kata Deolipa.
Sidang Perdana Menanti
Menurut informasi yang diterima tim Firdaus, sidang perdana uji materi ke MK akan digelar dalam waktu dekat. Firdaus menyatakan optimisme penuh.
“Ini bukan soal ego. Ini soal masa depan profesi advokat. Semua harus kembali pada due process of law,” tutupnya.
















Discussion about this post